Selasa, 21 April 2009

LASTRI

Rasanya aku tak mau membuka mata untuk melihat pagi yang biasanya cerah, karena aku takut pagi ini jadi gelap. Perasaanku dari semalam rasanya sulit sekali untuk aku hilangkan, setelah orang tuaku mengatakan agar besok aku berangkat ke jakarta bersama pamanku. Sejak perintah itu masuk ke telingaku selalu kubayangkan akan kehilangan temanku, yang pasti aku akan jauh dari mereka.
Sudah seminggu ini aku libur sekolah, minggu kemarin baru saja lulus dari sekolah dasarkku di SDN Megarsari 1. Nilaiku cukup baik, terbaik kedua. Saban hari, aku selalu main bersama teman sebayaku, mulai dari pagi sekitar pukul 7 sampai bedug luhur berbunyi, biasanya juga sering lupa waktu, terkadang sampai ibu kami memanggil dan memaksa kami untuk berhenti bermain ketika lagi asik-asiknya. Di tanah lapang, depan rumah Anto, anak perempuan biasanya bermain lompat tali, bekelan, atau juga petak umpat. Anak laki-laki mereka seringnya bermain bentengan, ada juga yang bermain sepak bola.
Sambil bermain kami sering cerita tentang diri kami masing-masing. Nina yang anak seorang pedangan beras, memulai pembicaraanya tentang cita-citanya yang ingin meneruskan sekolahnya bahkan sampai perguruan tinggi.
”Nanti ketika pembukaan penerimaan siswa baru dimulai, aku akan segera mendaftar di SMP.”
”Aku juga,” seru siti yang tak lain anak juragan kambing yang cukup terkenal di desaku.
”Kalau kamu Lastri?” tanya Nina.
”Aku pasti akan meneruskan, kalau bisa sampai kuliah,” pertanyaan itu segera disambar oleh Anto yang kebetulan sedang istirahat untuk minum. ”Akukan lelaki, kelak aku akan jadi kepala rumah tangga, jadi aku harus meneruskan sekolah,” menambahkan.
”Kalau aku akan meneruskan,” belum juga Lastri menjawab, Dani yang mau mengambil air, langsung ikut menjawab.
Aku tak tau harus menjawab apa, adiku dua, yang tahun depan, adiku yang ke-dua akan mulai masuk sekolah. Seandainya aku meneruskan sekolah, tentunya akan sangat memberatkan bagi Bapaku untuk membiayai ketiga anaknya, mengingat biaya sekolah semakin mahal. Dia Cuma seorang tukang becak yang selalu mangkal di perempatan jalan, meskipun cukup banyak bakul yang menjadi langganan Bapaku untuk diantar ke pasar, sepertinya itu juga belum tentu mencukupi biaya sekolah, apalagi Ibuku cuma sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaaanya dapur, sumur, dan kasur. Meskipun seringkali ikut bekerja sebagai buruh tani, namun itu hanya ketika musim tanam dan panen.
Karena aku ingin sekali melanjutkan sekolah, dalam hatiku selalu ada dorongan untuk tidak putus asa, ”Insya Allah aku akan melanjutkan sekolah,” jawabku, yang kemungkinan besar tidak akan terwujud.
.................................
Ibuku membangunkanku ”Las, di luar ada temanmu,”
”Malas Bu,” jawabku yang rasanya lebih enak tidur dengan mengapit gulingku bututku.
”Kamu kenapa? Biasanya kamu yang mengajak teman-teman main.”
”Malas Bu,” masih juga aku tak melepaskan gulingku.
”Lastri....,ayo main!” terdengar suara Nina dari luar.
”Bu, bilang saja aku malas!”
Saat itu juga sepertinya temanku pergi, setelah ibuku keluar menjelaskan.dan tak ada teriakan ajakan lagi.
Mamang selama liburan aku bangun lebih awal bermain dari mulai hangatnya mentari, sekitar pukul 7 pagi sampai pukul 11 siang, malah kadang-kadang sampai lupa waktu. Namun tak lupa ketika pulang aku lansung membantu Ibu di dapur, memasak atau sekedar membuat bumbu atau mengulek sambal dan tak jarang Ibu suka memuji masakanku, lebih-lebih sambalku yang terasa lebih enak dari buatan Ibu. Entah itu hanya pujian untuk menyenagkanku atau memang benar. Akupun mulai bermain lagi setelah makan dan pulang kadang setelah adzan ashar.
Perasaanku tak dapat kubohongi lagi, sekarang semuanya jadi layu seperti daun yang terkena sinar matahari dan tidak segera mendapatkan air. Jiwaku tak semangat lagi; bayanganku untuk memakai seragam sekolah baru; bertemu dengan teman dan guru baru seakan harus dihapus. Keadaan menuntutku untuk membayangkan mencuci tumpukan baju majikan, piring bekas makan majikan, atau mungkin mengurus bayi majikan, yang harus aku kerjakan. Sebenarnya itu juga pekerjaanku di rumah, namun rasanya beda jika itu aku lakukan untuk orang lain, apalagi jauh dari Bapak dan Ibu juga meninggalkan kedua adiku, mereka pasti tak mau aku tinggalkan karena aku sangat dekat denganya. Meskipun semua yang aku kerjakan nantinya akan mendapatkan gaji, namun aku tak terlalu bangga tidak seperti anak-anak lain yang sebaya denganku. jika mereka pergi ke Jakarta, pasti akan senang karena jika pulang akan membawa uang banyak.
”Bu, benarkah besok aku harus ikut Paman ke Jakarta?” tanyaku, agar aku yakin.
”Iya”
”Jadi Babu?”
”Iya,” Ibu hanya menjawab satu kata sambil menyapu kamarku, sementara aku masih saja tiduran dengan adiku.
”Aku harus melakukan pekerjaan seperti selama ini aku membantu Ibu?”
”Iya, tapi kata Pamanmu, kamu Cuma disuruh mengurus bayi.”
”Lalu, aku akan mendapatkan upah uang?” aku masih belum yakin.
”Pasti,” sepertinya dalam bola matanya menyiratkan tidak rela untuk melepas anak gadisnya yang mulai tumbuh yang seharusnya pada seusiaku harus selalu dibimbing, diarahkan agar lurus dalam berprilaku.
Aku segera bangkit dari tidurku, segera aku peluk tubuh Ibuku yang terasa kurus. Tubuhnya sekarang berbeda dengan yang dulu, waktu Ibuku baru melahirkan adiku yang pertama, badanya terasa gempal tulang pinggulnya tak terasa ketika aku peluk. Mungkinkah karena sekarang terlalu banyak memikirkan kebutuhan kami, meskipun Ia cuma mengurus kami bertiga, sementara Bapak yang terus mengontel becaknya untuk memberi kami makan, pakaian, dan menyediakan rumah yang reot ini. Terkadang penghasilan sehari dari membecak tidak mencukupi untuk memberi makan kami tiga kali sehari. Kata neneku, Ibu termasuk anaknya yang bertubuh gempal, apalagi ketika ia mbabu di Jakarta, tambah kelihatan segar. Akupun jadi perihatin, aku merasa salah telah merepotkan ia dengan meminta untuk melanjutkan sekolah, tapi apakah aku harus berhenti sampai di sini, memutus asa, mengubur impian. Masih terngiang dalam ingatanku, ketika aku meminta uang jajan, kelihatan ia kebingungan merogoh sakunya yang tidak ada uang sepeserpun, lalu ia mondar-mandir dengan muka yang agak gugup seolah berpikir untuk mencari utang di mana lagi, semua tetangga sudah ia mintai utang.
Aku masih memeluk tubuhnya yang terasa tulang punggungnya.
”Bu, ibu tidak memaksaku untuk berangkat besokan?”
Ia hanya mengelus kepalaku, mulutnya yang masih diam, seolah menahan jawaban yang berat untuk diutarakan.
”Bu, aku masih ingin sekolah lagi” aku merengek sambil mendekap tubuhnya.
”Kau tak melihat Bapakmu yang setiap sehabis subuh berangkat, pulang setelah maghrib, itupun uang yang didapat tidak sebanding dengan keringat yang keluar dari tubunya,” ia menjawab dengan air matanya yang tertahan.
”Sekarang kamu ingin sekolah lagi, adikmu juga harus masuk sekolah, lalu siapa yang mau membiayaimu? Ibu tidak bisa membantu Bapakmu, apa Ibu yang harus ke Jakarta?”
Ibu meneruskan,”Ini bukan mau Ibu, kamu lihat keadaan kita, kamu harus tahu! Bagi Ibu, dulu yang terpenting adalah membantu keluarga, meski baru lulus madrasah, Ibu langsung pergi kerja ke Jakarta.”
Aku langsung menyela perkataanya,”Apa aku harus seperti Ibu? Aku punya cita-cita, meskipun nantinya menjadi ibu rumah tangga, setidaknya aku bisa mengurus anak-anak dengan baik.”
Ibu melepaskan tanganku yang melingkar di perutnya, ia langsung bergegas keluar dari kamarku, sepertinya perkataanku membuat ia tersinggung. Aku merasa bersalah.
Aku masih duduk di kasur ranjang besi warisan Nenek, merenungkan perkataanku tadi, apakah cita-citaku salah? Ataukah keinginanku itu tidak seharusnya kuinginkan?
..............................
Pagi yang menakutkanpun tiba. Masih pukul setengah enam, setelah aku sholat subuh, Ibu memintaku untuk memeriksa apa yang belum ada di tas. Akupun segera memeriksa apa yang harus aku bawa, yang ternyata pakaian dan perlengkapan sudah dikemasi ibu semalam, semuanya telah tersedia.
Sambil memeriksa tas, aku melihat Bapak sedang duduk di kursi butut di ruang tamu sambil mengisap rokok dengan secangkir kopi di atas meja. Kali ini Bapaku belum berangkat narik becak, sepertinya ingin melihat keberangkatan anak gadisnya yang mungkin beberapa bulan atau tahun tidak akan melihatnya lagi di rumah.
Ia hanya diam sambil sesekali menyeruput kopi pahit yang memang tidak diberi giuls karena kehabisan. Sudah cukup lama bapak sering diam semenjak krisis tahun lalu. Kata orang-orang inilah krisis yang paling parah semenjak indonesia merdeka. Memang sekarang semua harga bahan pokok naik tajam, termasuk harga gula. Aku juga tak tau, mengapa waktu itu ada ribut-riut lalu akhirnya timbul krisis semacam ini, mungkinkah aku terlalu kecil untuk mengetahui.
Pamanku sudah datang dengan membawa tas ransel, kaya orang mau perang, tapi isinya cuma pakaian dan alat-alat tukang bangunan, maklumlah dia tukang bangunan yang kata Ibuku nantinya ia akan kerja membangun rumah orang kaya dekat tempat kerjaku nanti. Ia juga sudah lama kerja menjadi tukang bangunan di Jakarta, sebetulnya akhir-akhir ini pembangunan di Jakarata sedang lesu karana krisis, bnayak proyek-proyek yang mandek tidak diteruskan, katanya para investor kehabisan uang untuk membiayai proyek, maklum bisnisnya bangkrut. Namun pamanku sepertinya tidak terpengaruh dengan hal itu, mugkin sudah rejekinya.
Sepertinya aku harus segera berangkat, sudah jam setengah tujuh, Bis jurusan Purwokerto-Jakarta akan berangkat jam delapan, sedangkan perjalanan dari rumahku ke terminal membutuhkan waktu satu jam. Nampaknya pamanku sudah berdiri siap untuk berangkat, akupun segera siap-siap, antimo yang dibelikan Ibu segera aku minum utuk jaga-jaga agar tidak mabuk dalam perjalanan, maklum selama ini aku tidak pernah ke Jakarta.
Aku segera minta pamit kepada Bapaku, kucium tanganya, namun ia diam saja, hanya mengelus rambutku dengan belaian penuh kasih sayang. Lalu akupun pamit ke ibu, kucium tanganya, namun tak kuasa, aku menangis, langsung aku sujud dikakinya lalu aku pegang kedua kakinya,”Bu, aku tak mau pergi, aku belum siap.”
Ibuku diam, ku alihkan mataku ke arah Bapak, namun ia masih saja larut dalam sebatang rokok tak mengindahkan perkataanku. Tiba-tiba Ibu membangunkanku dengan mengangkat kedua tanganku. ”kamu nanti akan terbiasa.”
”Aku tak mau Bu, aku takut sendirian di sana, aku tak mau jauh dari Ibu.”
”Cepatlah nanti kamu ketinggalan bis, pamanmu sudah menungguimu” Ibuku sepertinya sudah tidak mau mendengar rintihanku.
Aku dituntun Ibu ke luar rumah, tapi kali ini aku harus terpaksa menghentikan tangisku, aku takut tetangga ada yang tahu, sebab nanti Orang tuaku juga yang malu.
”Nanti kalau ada apa-apa kirimlah surat, atau tidak datanglah ke paman!” dia mengantarku sampai depan rumah. Mungkin itu kata terakhir yang aku dengar. Aku melangkahkan kaki menuju becak yang akan mengantarku ke Terminal. Aku menoleh ke belakang, terlihat ibu masih mengantarku dengan pandanganya. Bapakupun terlihat berdiri tepat di daun pintu rumah. Ia melihatku dengan mata yang penuh kasih, seakan–akan matanya meyakinkanku untuk tetap tegar.
Aku menoleh ke kiri dan kanan, yang aku bisa lakukan hanya mengenang saat-saat penuh ceria bermain dengan teman-temanku, seolah-olah bayangan itu memintaku untuk melupakanya. Selamat tinggal kampungku yang penuh keceriaan.

Tidak ada komentar: